>

PENGGEMBALA SAPI TUA dan TONGKAT AJAIB

PENGGEMBALA SAPI TUA dan TONGKAT AJAIB
PENGGEMBALA SAPI TUA dan TONGKAT AJAIB


Dahulu kala, ada sebuah danau yang sangat jernih di Yunnan, China. Beberapa orang petani memelihara sapi di dekat danau itu. Tiap pagi mereka mambawa sembilan puluh sembilan ekor sapi untuk minum di danau, namun pada siang hari, sapi-sapi itu berubah menjadi seratus ekor. Seorang gadis cantik selalu muncul pada saat yang sama. Tak seorang pun tahu dari mana asal gadis itu, namun mereka menyukainya. Ia tahu tentang banyak hal dan suka bercerita. Ceritanya sangat menarik.

        “Ada seekor sapi ajaib di antara ternak kalian,” katanya.
        “Ia dapat berjalan di atas air. Sehelai bulunya dapat mengangkat beban yang sangat berat.”

Para petani menanyakan sapi yang mana yang ia maksudkan, namun ia hanya tersenyum.

        “Hanya orang yang jujur yang dapat mengetahuinya, “ katanya.

Pada suatu hari, sapi-sapi itu sedang mencari makanan. Gembala tua yang biasa menjaga mereka mengumpulkan mereka. Tak disadarinya tongkat tua yang dipakainya menyentuh seekor sapi. Beberapa helai bulu sapi itu terselip pada retakan pada ujung tongkat.

Sore pun tiba, gembala itu mengikat dua keranjang kayu bakar pada ujung-ujung tongkat dan memikulnya.

        “Heran,” katanya dalam hati,
        “Kayu ini ringan sekali. Mungkin aku baru mengumpulkan sedikit kayu. Hari masih terang, lebih baik aku mengumpulkan kayu lagi.”

Ia pun mengumpulkan kayu lagi banyak-banyak. Diikatnya pada kedua ujung tongkat. Namun ia tetap dapat mengangkatnya dengan mudah. Ia pun pulang.


Demikianlah, tiap hari gembala tua mengumpulkan banyak kayu bakar dan membawanya ke pasar untuk dijual. Karena kayu yang dijualnya jauh lebih banyak dari sebelumnya, ia pun mendapat lebih banyak uang dan dapat menabung.


Pada suatu hari, ketika kakek itu membawa kayu itu ke pasar, seorang kaya melihatnya. Ia heran karena gembala yang sudah tua itu dapat membawa begitu banyak kayu. Tiap hari ia menunggu kakek itu lewat membawa kayu.

        “Kek, bagaimana kau dapat membawa kayu yang berat itu?” Ia pun menemui kakek itu dan bertanya,
        “ooohhh ini karena aku mengangkat kayu-kayu ini dengan tongkat ajaib ini” jawab sang kakek dengan polos dan jujur.
        “Kalau kau mau menjual tongkat itu kepadaku, aku akan memberimu lima ratus keping emas.” Lima ratus keping emas adalah jumlah yang sangat besar. Uang itu dapat digunakannya hingga akhir hidupnya. Kakek pun menerimanya dan memberikan tongkatnya kepada orang kaya itu.

Orang kaya itu sangat gembira karena berhasil mendapatkan tongkat ajaib. Namun ia lihat tongkat tua itu sudah usang dan retak-retak pada ujung. Dibawanya tongkat itu ke tukang kayu untuk diperbaiki. Tukang kayu memotong ujung tongkat yang retak dan membuangnya. Bulu sapi ajaib pun ikut terbuang.


Pada suatu hari orang kaya itu menunjukkan tongkat itu kepada isterinya. Ia mengikat banyak kayu di ujung-ujung tongkat dan menyuruh istrinya mengangkatnya, dan mengatakan bahwa dengan tongkat ajaib yang baru saja dibelinya, dia dan istrinya bisa mengangkat beban yang berat. Tetapi ternyata istrinya tidak dapat mengangkat beban kayu tersebut.

        “Kau ini, mana mungkin ini tongkat ajaib?” kata istrinya sambil mengomel,
        “ini cuma tongkat biasa.” katanya lagi....

Orang kaya itu balik membalas omelan istrinya,

        “Dasar kamu tidak tahu apa-apa.”

Ia pun mengangkat tongkat dan kayu itu. Ia juga tidak dapat melakukannya karena tongkat itu sekarang sudah kembali menjadi tongkat biasa.


ASAL MULA TERJADINYA SELAT BALI

ASAL MULA SELAT BALI

Alkisah, di Kerajaan Daha, Kediri, Jawa Timur, hiduplah seorang Brahamana (pendeta) yang bernama Empu Sidi Mantra. Ia seorang pendeta yang kaya raya dan terkenal sakti mandraguna. Selain itu, ia juga memiliki seorang istri yang cantik jelita dan seorang putra yang gagah dan tanpan bernama Manik Angkeran. Meski demikian, pendeta itu tidak bisa hidup tenang dan bahagia, karena anak semata wayangnya, Manik Angkeran, memiliki sifat tidak terpuji, yaitu gemar berjudi. Ia selalu mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya dan berhutang kepada orang lain ketika kalah berjudi. Hal inilah yang membuat Empu Sidi Mantra dan istrinya merasa resah, karena hampir setiap hari orang-orang mendatangi rumahnya untuk menagih hutang putranya. Keadaan tersebut berlangsung hingga bertahun-tahun, sehingga lambat-laun harta kekayaan sang Empu terkuras habis.

Pada suatu sore, Manik Angkeran pulang ke rumahnya dengan nafas tersengal-sengal.
  • “Bapa, Ibu! Tolong aku!” seru Manik Angkeran.
  • “Ada apa, Putraku? Apa yang terjadi denganmu?” tanya ibunya dengan perasaan cemas.
  • “A...a... aku dikejar-kejar orang, Bu!” jawab Manik Angkeran dengan nafas yang masih terengahengah.
  • “Hmm... kamu pasti kalah berjudi lagi ya!” timpa bapanya.
  • “Iya, Bapa! Aku kalah berjudi dan tidak sanggup membayar taruhan. Tolong aku, Bapa! Mereka ingin membunuhku,” Manik Angkeran mengiba kepada bapanya.
Tak berapa lama kemudian, datanglah beberapa orang pemuda membawa golok. Mereka berteriakteriak di depan rumah menyuruh Manik Angkeran keluar.
  • “Hai, Manik Angkeran! Keluar dan bayarlah hutangmu!” teriak salah seorang pemuda sambil mengacung-acungkan goloknya.
Manik Angkeran pun semakin ketakutan. Ia segera masuk ke kamarnya untuk bersembunyi. Sementara itu, dengan tenangnya, Empu Sidi Mantra segera menemui para pemuda yang berdiri di depan rumahnya.
  • “Tenang, wahai Anak Muda! Percayalah, saya akan membayar semua hutang putraku. Tapi, berilah saya waktu tiga hari untuk mencari uang dulu,” pinta Empu Sidi Mantra.
  • “Baiklah, Empu! Kami menerima permintaan Empu. Tiga hari lagi, kami akan kembali kemari untuk menagih janji Empu,” kata salah seorang pemuda, lalu membubarkan diri bersama teman-temannya.
Pada malam harinya, Empu Sidi Mantra berdoa untuk memohon pertolongan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Saat tengah malam, tiba-tiba ia mendengar suara bisikan yang sangat jelas di telinganya.
  • “Hai, Sidi Mantra! Pergilah ke kawah Gunung Agung! Di sana ada harta karun yang dijaga oleh seekor naga bernama Naga Besukih,” demikian suara bisikan itu.
Keesokan harinya, berangkatlah Empu Sidi Mantra itu ke kawah Gunung Agung. Setelah berjalan cukup jauh dengan berbagai rintangan, sampailah ia di tempat tersebut. Ia pun duduk bersila sambil membunyikan genta (lonceng) saktinya seraya mulutnya komat-kamit menyebut nama Naga Besukih. Tak berapa lama kemudian, naga itu pun keluar dari tempat persembunyiannya.
  • “Hai, kisanak! Kamu siapa dan ada apa kamu memanggilku?” tanya Naga Besukih itu.
  • “Saya Empu Sidi Mantra dari Tanah Jambudwiba. Maksud kedatangan saya kemari untuk meminta bantuanmu,” kata Empu Sidi Mantra.
  • “Apa yang bisa kubantu, hai Mpu? Katakanlah!” seru Naga Besukih. Empu Sidi Mantra pun mengutarakan maksud kedatangannya. Karena merasa iba, Naga Besukih segera menggeliatkan tubuhnya. Seketika itu pula, emas dan berlian pun berhamburan keluar dari balik sisiknya.
  • “Bawalah emas dan intan ini Mpu! Semoga cukup untuk membayar hutang-hutang putramu. Tapi, ingat! Jangan lupa untuk menasehati putramu agar dia mau merubah perilakunya!” seru sang Naga.
  • “Baik, Naga! Terima kasih atas bantuannya,” ucap Empu Sidi Mantra.
Setelah mengambil semua perhiasan emas dan intan tersebut, Empu Sidi berpamitan kepada sang Naga. Setibanya di rumah, ia langsung memanggil putranya.
  • “Wahai, putraku Manik Angkeran! Bapa akan memberikan semua emas dan intan ini kepadamu, tapi dengan satu syarat, kamu harus berjanji untuk tidak berjudi lagi,” ujar Empu Sidi Mantra.
  • ‘Baik, Bapa! Manik berjanji untuk tidak berjudi lagi,” ucap Manik Angkeran. 
Empu Sidi Mantra pun percaya begitu saja pada ucapan putranya. Akhirnya, ia menyerahkan semua perhiasan emas dan intan tersebut kepada putranya. Dengan perasaan senang dan gembira, Manik Angkeran segera menjual semua perhiasan emas dan intan tersebut. Setelah itu, ia pergi membayar hutang-hutangnya. Ternyata, uang hasil penjualan emas dan intan tersebut tidak habis digunakan untuk melunasi seluruh hutangnya.

Melihat jumlah uang yang masih tersisa begitu banyak, akhirnya ia pun tergiur untuk kembali bermain judi. Dengan uang itu, ia berharap akan menang dan memperoleh uang yang lebih banyak lagi. Tapi, nasib berkata lain, ia kalah berjudi dan uangnya pun habis. Bahkan, ia kembali dililit hutang. Akhirnya, ia kembali ke rumahnya dengan wajah lesu.
  • “Bapa! Aku sudah membayar semua hutangku kepada mereka,” kata Manik Angkeran dengan nada lemas.
  • “Ya, baguslah kalau begitu! Tapi, kenapa wajahmu tampak kusut begitu?” tanya bapanya heran.
  • “Maafkan aku, Bapa! Tadi aku bermain judi dan berhutang lagi,” jawab Manik Angkeran sambil menundukkan kepalanya.
  • “Apa katamu! Dasar anak keras kepala, tidak mau mendengar nasehat orang tua!” bentak bapanya.
  • “Maafkan aku, Bapa! Tolong bantu aku sekali ini saja, Bapa!” Manik Angkeran mengiba di hadapan ayahnya.
  • “Tidak! Bapa tidak dapat membantumu lagi. Bayar sendiri hutang-hutangmu itu!” seru bapanya dengan wajah memerah.
Manik Angkeran pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia kebingungan mencari cara untuk membayar hutang-hutangnya. Di tengah kebingungannya, tiba-tiba ia teringat bahwa bapanya memperoleh perhiasan emas dan intan di kawah Gunung Agung. Ia pun nekad mencuri genta milik bapanya, lalu pergi ke kawah gunung itu. Setibanya di sana, ia bingung lagi karena tidak mengerti doa dan mantra yang harus diucapkan. Akhirnya, ia mencoba membunyikan genta itu tanpa mengucapkan mantra. Setelah beberapa kali membunyikannya, tiba-tiba seekor naga besar keluar dari sarangnya dan menghampirinya.
  • “Ampun, Naga! Jangan memangsaku!” pinta Manik Angkeran.
  • “Hai, Anak Muda! Kamu siapa? Kenapa kamu membunyikan genta itu tanpa membaca mantra?” tanya Naga Besukih.
  • “A... a... Aku Manik Angkeran, putra Empu Sidi Mantra,” jawab Manik Angkeran dengan gugup.
  • “Hai, Manik Angkeran! Ada apa engkau memanggilku dengan genta yang kau curi dari bapamu itu?” tanya Naga Besukih. Manik Angkeran pun menyampaikan maksud kedatangannya. Ia mengiba kepada Naga Besukih agar ia diberikan harta yang melimpah untuk membayar hutang-hutangnya.
  • “Naga! Kasihanilah Aku! Orang-orang akan membunuhku jika tidak segera membayar hutangku kepada mereka,” Manik Angkeran kembali mengiba. Melihat kesedihan Manik Angkeran, sang Naga pun merasa kasihan kepadanya.
  • “Baiklah! Aku akan membantumu, tapi kamu harus berjanji untuk berhenti berjudi,” ujar Naga Besukih.
Setelah itu, sang Naga segera membalikkan badannya hendak mengeluarkan emas dan intan melalui sisik ekornya. Begitu ia hendak menyetakkan ekornya, tiba-tiba Manik Angkeran segera menghunus kerisnya dan memotong ekor naga itu. Tak ayal lagi, Naga Besukih pun meronta-ronta dan menjerit kesakitan. Ketika ia membalikkan badannya, Manik Angkeran telah pergi membawa ekornya yang penuh dengan emas dan intan itu. 

Naga Besukih berusaha untuk mengejarnya, namun putra Empu Sidi Mantra itu sudah menghilang entah ke mana. Ia hanya menemukan bekas tapak kakinya. Maka dengan kesaktiannya, ia membakar tapak kaki itu. Manik Angkeran yang telah pergi jauh meninggalkan kawah Gunung Agung pun merasakan kedua telapak kaki terasa panas, dan lama kelamaan seluruh tubuhnya terbakar hingga akhirnya menjadi abu.

Sementara itu, di Kerajaan Daha, Empu Sidi Mantra dan istrinya sedang gelisah, karena anak semata wayang mereka menghilang. Mereka sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tidak juga menemukannya.
  • “Pa! Ke mana perginya putra kita? Kita sudah mencarinya ke mana-mana, tapi tak seorang pun warga yang tahu keberadaannya?” tanya istri Empu Sidi Mantra dengan perasaan cemas. Empu Sidi Mantra hanya terdiam sambil berpikir. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba ia tersentak kaget.
  • “Wah, jangan-jangan putra kita pergi ke Gunung Agung,” kata Empu Sidi Mantra.
  • “Kenapa Bapa bisa berpikiran begitu?” tanya istrinya.
  • “Aku berpikiran demikian, karena putra kita menghilang bersamaan dengan hilangnya genta saktiku. Dia pasti pergi ke kawah itu untuk menemui Naga Besukih,” jawab Empu Sidi Mantra.
Keesokan harinya, berangkatlah Empu Sidi Mantra ke kawah Gunung Agung untuk mencari putranya. Setibanya di sana, ia melihat Naga Besukih sedang gelisah di luar sarangnya.
  • “Wahai, Naga Besukih! Apakah engkau melihat putraku?” tanya Empu Sidi Mantra.
  • “Iya, Mpu! Kemarin dia ke sini meminta harta untuk membayar hutang-hutangnya. Namun, ketika aku hendak memberinya harta itu, tiba-tiba ia memotong ekorku, lalu membawanya pergi bersama harta itu,” jelas Naga Besukih.
  • “Apakah kamu tahu kemana perginya?” Empu Sidi Mantra kembali bertanya dengan perasaan cemas.
  • “Maaf, Mpu! Kamu tidak usah lagi mencari putramu. Aku telah membakarnya hingga binasa,” jawab Naga Besukih. Betapa terkejutnya Empu Sidi Mantra mendengar berita buruk itu. Ia pun memohon kepada sang Naga agar putranya dihidupkan kembali.
  • “Maafkan aku dan putraku, Naga! Dia putraku satu-satunya. Aku mohon hidupkanlah dia kembali,” pinta Empu Sidi Mantra.
  • “Baiklah, Mpu! Demi persahabatan kita, aku akan memenuhi permitaanmu. Tapi dengan satu syarat, kamu harus mengembalikan ekorku,” kata Naga Besukih.
Empu Sidi Mantra pun berjanji untuk memenuhi syarat Naga Besukih. Dengan kesaktiannya, Naga Besukih berhasil menghidupkan kembali Manik Angkeran. Empu Sidi Mantra segera pergi mencari putranya. Setelah sekian lama mencari, akhirnya ia pun menemukan putranya di sebuah hutan lebat, dan kemudian mengajaknya kembali ke kawah Gunung Agung untuk menemui dan mengembalikan ekor Naga Besukih.

Setibanya di kawah Gunung Agung, Empu Sidi Mantra segera mengembalikan ekor Naga Besukih seperti semula. Setelah itu, ia bersama naga itu menasehati putranya agar benar-benar mau merubah perilakunya. Manik Angkeran pun sadar dan berjanji untuk mengikuti nasehat mereka. Sebagai hukuman, ia harus tinggal di sekitar Gunung Agung.

Akhirnya, Empu Sidi Mantra pun kembali ke Kerajaan Daha seorang diri. Ketika tiba di Tanah Benteng, ia menorehkan tongkat saktinya ke tanah untuk membuat garis batas antara dia dan putranya. Karena kesaktiannya, bekas torehan tongkatnya bertambah lebar sehingga tergenangi air laut, dan lambat laun tempat itu berubah menjadi sebuah selat. Oleh masyarakat setempat, selat itu dinamakan Selat Bali.

KISAH LEGENDA BURUNG MOOPOO SULAWESI UTARA


KISAH LEGENDA BURUNG MOOPOO SULAWESI UTARA



Alkisah, di sebuah daerah di Minahasa, Sulawesi Utara, hiduplah seorang kakek bersama dengan cucu laki-lakinya yang bernama Nondo. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil di tepi hutan lebat. Untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari, sang Kakek pergi ke hutan mencari hasil hutan dan menjualnya ke pasar. Sementara Nondo hanya bisa membantu kakeknya memasak dan membersihkan rumah, karena kakinya pincang. Kedua orang tua Nondo meninggal dunia ketika ia masih kecil. Sejak itu, Nondo diasuh oleh kakeknya hingga dewasa.


Setiap hari Nondo selalu bersedih hati. Ia ingin sekali membantu kakeknya mencari kayu bakar di hutan, namun apa daya kakinya tidak mampu berjalan jauh. Ia juga ingin sekali menyaksikan sendiri binatang-binatang yang hidup di hutan sebagaimana yang sering diceritakan oleh kakeknya setiap selesai makan malam.


Setiap kakeknya bercerita, Nondo selalu mendengarkannya dengan penuh perhatian. Ia hanya bisa membayangkan seperti apakah binatang-binatang yang diceritakan kakeknya itu. Ia juga sering bermimpi bertemu dengan binatang-binatang itu. Bahkan, ia kerap menirukan bunyi burung-burung yang diceritakan kakeknya.

 

Pada suatu hari, seperti biasanya, sang Kakek hendak pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar.

        ”Kek! Bolehkah Nondo ikut ke hutan bersama Kakek?” pinta Nondo kepada kakeknya.
        ”Kamu di rumah saja, Cucuku” jawab sang Kakek.
        ”Tapi, Kek! Nondo ingin sekali melihat binatang-binatang yang sering Kakek ceritakan itu.”
        ”Jangan, Cucuku! Bukankah kakimu sedang sakit? Kakek khawatir dengan kesehatanmu.”
        ”Kek! Nondo mohon, izinkanlah Nondo pergi ke hutan bersama Kakek sekali ini saja,” bujuk Nondo sambil merengek-rengek.

Oleh karena kasihan melihat Nondo, akhirnya kakeknya pun mengizinkannya.

    ”Baiklah! Kamu boleh ikut bersama Kakek, tapi selesaikan dulu pekerjaan rumahmu,” ujar sang Kakek.

Dengan perasaan senang dan penuh semangat, Nondo segera membersihkan rumah dan memasak untuk makan siang sepulang dari hutan. Beberapa saat kemudian, Nondo telah menyelesaikan pekerjaan rumahnya.

        ”Kek! Ayo kita berangkat! Pekerjaan Nondo sudah selesai,” seru Nondo.
        ”Ya!” jawab sang Kakek singkat dengan perasaan khawatir.

Setelah itu, berangkatlah mereka ke hutan. Sang Kakek berjalan di depan, sedangkan Nondo mengikutinya dari belakang. Ketika memasuki hutan, Nondo seringkali tertinggal oleh kakeknya, karena selain kakinya pincang, ia juga sering berhenti setiap melihat binatang. Bahkan, ia kerap bermain-main dan menirukan suara binatang yang ditemuinya. Oleh karena keasyikan bermain-main dengan binatang itu, sehingga ia semakin jauh tertinggal oleh kakeknya.


Awalnya Nondo tidak menyadari keadaan itu. Ketika hari menjelang sore, ia baru tersadar jika ia tinggal sendirian di tengah hutan. Hari pun semakin gelap, suasana hutan semakin menyeramkan dengan suara-suara binatang yang menakutkan.

    ”Kakek...! Kakek....! Kakek di mana...?” teriak Nondo memanggil kakeknya sambil menangis.

Beberapa kali Nondo berteriak, namun tidak ada jawaban sama sekali. Ia mencoba mencari jalan pulang ke rumah, namun semakin jauh ia berjalan semakin jauh masuk ke tengah hutan. Ia pun bertambah bingung dan tersesat di tengah hutan.


Malam semakin larut, Nondo belum juga menemukan kakeknya. Ia pun semakin takut oleh suara-suara burung yang bersahut-sahutan, seperti burung uwak, kedi-kedi, kakaktua, toin tuenden dan burung hantu. Apalagi ketika ia mendengar suara burung kuow yang keras dan menyeramkan.  Ia pun menangis dan berteriak sekeras-kerasnya agar suaranya didengar oleh kakeknya. Namun, usahanya sia-sia, karena tidak mendapat jawaban sama sekali.


Sementara itu sang Kakek menjadi panik ketika menyadari cucunya sudah tidak ada lagi di

belakangnya. Ia sangat mengkhawatirkan keadaan cucu kesayangannya itu.

    ”Nondo...! Nondo...! Kamu di mana?” teriak sang Kakek.

Beberapa kali pula kakek itu berteriak, namun tidak ada jawaban sama sekali. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk pulang, karena mengira cucunya sudah kembali ke rumah. Namun sesampai di rumah, ia tidak menemukan cucunya. Pada pagi harinya, sang Kakek kembali ke hutan untuk mencari cucunya. Hingga sore hari, ia berkeliling di tengah hutan itu sambil berteriak-teriak memanggil cucunya, namun tidak juga menemukannya. Oleh karena merasa putus asa, akhirnya ia pun kembali ke rumahnya. Dalam perjalanan pulang, ia mendengar suara yang aneh.

KISAH LEGENDA BURUNG MOOPOO SULAWESI UTARA


        `moo-poo..., moo-poo..., moo-poo….!” terdengar suara burung aneh itu.
        ”Suara binatang apakah itu? Sepertinya baru kali ini aku mendengarnya,” gumam Kakek Nondo.

Oleh karena penasaran, kakek itu segera mencari sumber suara aneh itu. Setelah berjalan beberapa langkah, ia pun menemukannya. Ternyata suara itu adalah suara seekor burung yang sedang hinggap di atas pohon. Kakek itu terus berjalan mendekati pohon untuk melihat burung itu lebih dekat.

    ”Burung apakah itu? Sudah puluhan tahun aku mencari kayu di hutan ini, tapi aku belum pernah melihat jenis burung seperti itu,” gumamnya.

Sementara burung itu terbang dari satu cabang ke cabang yang lain sambil memerhatikan sang Kakek dan mengeluarkan suara, ”moo-poo”.


Semula kakek Nondo tidak mengerti maksud suara itu. Namun setelah lama memerhatikan suara itu, ia pun mulai menyadari jika burung itu memanggilnya opoku (kakekku). Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia kembali mengamati burung itu. Setelah ia amati, rupanya kaki burung itu pincang. Tiba-tiba kakek itu menangis karena teringat cucunya. Ia yakin bahwa burung itu adalah jelmaan cucunya, Nondo.


Sesuai dengan suara yang dikeluarkan, maka burung itu diberi nama moopoo. Hingga saat ini, burung moopoo dapat ditemukan di daerah Minahasa, Sulawesi Utara.


*****


Demikianlah KISAH LEGENDA BURUNG MOOPOO dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Kisah ini tergolong cerita mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keburukan sifat tidak tahu diri dan suka berperilaku sembrono atau gegabah.

Sifat tidak tahu diri yang dimaksud adalah menyadari kemampuan diri sendiri. Artinya, jika hendak mewujudkan suatu keinginan, sebaiknya terlebih dahulu mengukur kemampuan diri sendiri. Sifat ini tercermin pada sikap Nondo yang memaksakan keinginannya untuk ikut bersama kakeknya ke hutan, padahal kakinya pincang. Sementara sifat suka berperilaku sembrono atau gegabah tercermin pada perilaku sang Kakek yang tidak perhatian terhadap keadaan cucunya yang pincang, sehingga meninggalkannya seorang diri di tengah hutan.

Cerita Rakyat Sulawesi Utara Kisah Ratu Adioa

Cerita Rakyat Sulawesi Utara : Ratu Adioa

Alkisah, di sebuah kampung di daerah pesisir Sulawesi Utara, Indonesia, terdapat lima orang pemuda yang bersahabat, yaitu Ratu Wulanwanna, Wonte Ulu, Wonte Hall, Wonte Tembaga, dan Ratu Adioa. Mereka rata-rata hidup berkecukupan. Ratu Adioa seorang pemburu binatang di hutan, Wonte Ulu seorang nelayan, Wonte Hall pembuat perahu, dan Wonte tembaga seorang tukang besi. Sedangkan Ratu Wulanwanna adalah putra seorang juragan kapal. Selain Adioa, keempat orang bersahabat tersebut memiliki sifat sombong dan suka berlaku kasar terhadap orang-orang di sekitarnya, termasuk kepada kedua orang mereka.


Pada suatu hari, Ratu Wulanwanna ingin menantang keberanian keempat sahabatnya untuk membunuh kedua orang tua mereka masing-masing. Ia pun mengajak keempat sahabatnya untuk berkumpul di suatu tempat yang sepi agar rencananya tidak diketahui oleh orang tua mereka.

        “Wahai, sahabat-sahabatku! Tahukah kalian mengapa aku mengajak kalian berkumpul di tempat ini?” tanya Ratu Wulanwanna memulai pembicaraan.
        “Belum?” jawab keempat sahabatnya serentak.
        “Begini sahabatku, aku ingin menantang keberanian kalian untuk membunuh kedua orang kita masing-masing. Apakah kalian bersedia menerima tantangan ini?” tanya Ratu Wulanwanna.
        “Mengapa kedua orang kita yang harus kita bunuh?” tanya Wonte Ulu bingung.

Mendengar pertanyaan itu, Ratu Wulanwanna tersenyum seraya menjelaskan maksud rencananya tersebut.

    “Ketahuilah, wahai sahabatku! Dengan membunuh kedua tua kita, maka kita akan mewarisi semua harta kekayaan mereka dan tidak ada lagi yang akan menghalangi segala keinginan kita,” jawab Ratu Wulanwanna seraya tersenyum.

Rupanya, jawaban Ratu Wulanwanna tersebut menggugah pikiran Wonte Ulu, Wonte Hall, dan Wonte Tembaga. Mereka bersedia menerima tantangan tersebut. Sementara Adioa hanya diam tertegun dan belum menyatakan kesediaannya.

    “Hai, Adioa! Mengapa kamu diam saja? Apakah kamu tidak berani menerima tantangan ini?” tanya Ratu Wulanwanna dengan nada membentak.

Ratu Adioa tetap saja diam dan kebingungan. Dalam hatinya, ia tidak mau menerima tantangan itu, karena ia sangat menyayangi kedua orang tuanya. Namun, jika tidak menerima tantangan tersebut, ia akan dibenci dan bahkan dibunuh oleh keempat sahabatnya. Setelah berpikir keras, ia pun menemukan sebuah cara agar keempat sahabatnya tidak membencinya dan kedua orang tuanya pun selamat. Ia akan berpura-pura menerima tantangan tersebut, kemudian secara diam-diam, ia akan menyembunyikan kedua orang tuanya di dalam sebuah gua di tengah hutan. Gua itu sangat aman, karena di antara keempat sahabatnya hanya dialah yang mengetahui keberadaannya. Gua itu sering ia gunakan sebagai tempat beristirahat ketika sedang berburu binatang di hutan.


Cerita Rakyat Sulawesi Utara Kisah Ratu Adioa


    “Baiklah, sahabat! Aku bersedia menerima tantangan ini,” jawab Ratu Adioa dengan suara lantang.

Pada malam harinya, Ratu Wulanwanna, Wonte Ulu, Wonte Hall, dan Wonte Tembaga segera menghabisi nyawa kedua orang tua mereka yang sedang tertidur lelap. Setelah itu, mereka menguburnya di pinggir hutan. Sementara Adioa, secara diam-diam menyembunyikan kedua orang tuanya di dalam gua, lalu membuat dua tumpukan tanah dan memberinya batu nisan di atasnya, sehingga mirip dua buah kuburan yang bersandingan. Setelah itu, ia mengolesi darah ayam pada kedua batu nisan tersebut untuk meyakinkan keempat sahabatnya bahwa ia benar-benar telah membunuh kedua orang tuanya.


Sejak itu, keempat sahabat Adioa tersebut mewarisi semua harta kedua orang tua mereka. Namun, mereka senantiasa hidup boros dan bekerja sekehendak hati, sehingga lama-kelamaan hidup mereka semakin melarat. Sementara Adioa tetap rajin berburu binatang ke hutan untuk memenuhi kebutuhan kedua orang tuanya yang berada di dalam gua.


Pada suatu hari, ada tiga buah kapal mewah sedang berlabuh di dermaga. Mengetahui kedatangan ketiga kapal tersebut, Ratu Wulanwanna segera memerintahkan Ratu Adioa ke dermaga untuk menanyakan kepada awak kapal tentang maksud kedatangan mereka.

    “Adioa! Pergilah ke dermaga dan tanyakan maksud kedatangan mereka!” seru Ratu Wulanwanna.

Mendengar perintah sahabatnya itu, Adioa pun berangkat ke dermaga. Setibanya di dermaga, ia pun menemui salah seorang awak kapal.

        “Maaf, Tuan! Kalian siapa dan apa maksud kedatangan kalian ke kampung kami?” tanya Adioa.
        “Kami adalah utusan raja dari Kerajaan Timur. Kami kemari membawa teka-teki untuk penduduk kampung ini. Jika kalian berhasil menjawab teka-teki kami, maka seluruh isi kapal ini akan menjadi milik kalian. Tetapi jika kalian tidak berhasil menjawabnya, maka kampung ini dan seluruh isinya akan menjadi milik kami,” jawab awak kapal itu.
        “Apakah teka-teki yang hendak Tuan sampaikan kepada kami?” tanya Adioa.
        “Kamu tunggu di sini sebentar, hai Anak Muda!” seru awak kapal itu seraya masuk ke dalam kapalnya.

Tak berapa lama kemudian, awak kapal itu kembali bersama dua temannya. Mereka membawa dua buah tengkorak manusia, dua ekor anak ayam, dan dua buah gayung yang berisi air.

        “Begini, Anak Muda! Kami mempunyai tiga buah teka-teki untuk kalian.
        Pertama, kami meminta kalian memilih dari kedua tongkorak manusia ini, mana yang perempuan dan mana yang laki-laki.
        Kedua, pilih dari kedua ekor ayam ini, mana yang betina dan mana yang jantan.
        Ketiga, tebaklah air dalam dua gayung ini, mana yang berisi air tawar dan mana yang air laut. Bagaimana, apakah kalian berani menerima tantangan ini?” tanya awak kapal itu.
        “Maaf, Tuan! Saya tidak bisa memutuskan sekarang. Saya harus merundingkan hal ini bersama keempat sahabat saya,” jawab Adioa.

Setelah berpamitan, Ratu Adioa segera menyampaikan tantangan tersebut kepada keempat sahabatnya. Mereka pun berunding dan bersepakat menerima tantangan tersebut dengan senang hati dan penuh harapan.

        “Wah, jika kita berhasil menjawab teka-teki tersebut, maka kita akan menjadi kaya lagi,” celetuk Wonte Hall.
        “Benar, sahabat! Hidup kita bisa kembali seperti dulu lagi,” tambah Wonte Tembaga.
        “Sudahlah, sahabat! Janganlah terlalu berlebihan! Sebaiknya kita berunding untuk memecahkan teka-teki tersebut,” ujar Ratu Adioa.

Kelima pemuda bersahabat itu pun segera membahas teka-teki tersebut. Sudah sehari-semalam mereka berunding, namun belum juga menemukan jawabannya. Akhirnya, mereka pun bersepakat untuk membuat taruhan di antara mereka. Barangsiapa yang berhasil menjawab teka-teki tersebut, maka dialah yang akan diangkat menjadi raja.


Setelah itu, Adioa kembali ke dermaga untuk meminta waktu kepada awak kapal itu.

        “Maaf, Tuan! Berilah kami waktu seminggu lagi untuk mencari jawaban teka-teki Tuan!” pinta Adioa.
        “Baiklah, kalau itu yang kalian inginkan. Kami akan menanti jawaban kalian seminggu lagi. Tapi, jika kalian tidak menemukan jawaban teka-teka kami, maka kampung ini menjadi milik kami,” ujar awak kapal itu.
        “Setuju, Tuan!” jawab Adioa singkat seraya berpamitan.

Setelah itu, Adioa dan keempat sahabatnya segera mencari jawaban teka-teki itu. Secara diam-diam, Adioa pergi menemui kedua orang tuanya dalam gua dan menceritakan kepada mereka tentang teka-teki tersebut.

    “Ayah, Ibu! Apakah kalian mengetahui jawaban teka-teki itu?” tanya Adioa dengan penuh harap.

Ayah Adioa hanya tersenyum, lalu berkata,

        “Kakekmu dulu pernah memberikan teka-teki itu kepada Ayah kekita Ayah masih kecil. Tapi, waktu itu Ayah tidak bisa menjawabnya.”
        “Tapi, jangan khawatir Anakku! Kakekmu telah memberitahu jawaban teka-teki itu,” sambung Ayah Adioa.
        “Kalau begitu, apa jawabannya, Ayah?” desak Adioa.
        “Dengarlah baik-baik, Anakku!
        Untuk menjawab teka-teki yang Pertama, ambillah sebatang lidi, lalu kamu tusukkan ke dalam lubang tengkorak itu. Jika lidi itu lurus berarti tengkorak laki-laki, jika bengkok berarti tengkorak perempuan.
        Untuk jawaban teka-teki yang Kedua, ambillah segenggam beras dan berilah makan kedua anak ayam itu. Ayam yang makan sambil menengadah berarti ayam jantan, sedangkan ayam yang makan sambil menunduk berarti ayam betina.
        Jawaban yang Ketiga, jika air dalam gayung itu beriak tandanya air laut, sedangkan jika tidak beriak berarti air tawar,” jawab Ayah Adioa.

Betapa senang hati Adioa mendengar jawaban ayahnya. Hatinya gembira sekali, karena telah menemukan jawaban teka-teki tersebut.

        “Terima kasih, Ayah!” ucap Adioa.
        “Sama-sama, Anakku! Pergilah temui awak kapal tersebut dan jawablah teka-teki mereka! Kamu pasti dapat memenangkannya dan membawa pulang semua isi kapal mereka,” ujar ayah Adioa.
        “Jangan lupa membawa segenggam beras dan sebatang lidi, Anakku!” seru ibu Adioa.
        “O... iya! Terima kasih Bu telah mengingatkan Adioa,” ucap Adioa.

Setelah menyiapkan segenggam beras dan sebatang lidi, Ratu Adioa pun berpamitan kepada kedua orang tuanya, lalu bergegas menemui keempat sahabatnya. Setiba di tempat sahabat-sahabatnya berkumpul, ia mendapati mereka masih dalam kebingungan, karena belum menemukan jawaban teka-teki tersebut. Mereka tampak cemas dan takut para awak kapal tersebut akan membawa mereka ke negeri seberang untuk dipersembahkan kepada raja.

        “Hai, kenapa kalian tampak kebingungan?” tanya Adioa.
        “Waduh, Adioa! Kami sudah berusaha mencari jawaban teka-teki itu, tapi belum juga menemukannya,” keluh Ratu Wulanwanna.
        “Kami sudah pasrah, Adioa! Hanya kamulah harapan kami satu-satunya yang dapat menyelamatkan kampung ini,” sahut Wonte Tembaga.
        “Iya, Adioa! Apakah kamu sudah menemukan jawabannya?” tanya Wonte Hall.
        Dengan tenang, Adioa menjawab,
        “Jangan khawatir, wahai sahabat-sahabatku! Aku sudah menyiapkan jawabannya. Ayo kita menuju ke dermaga menemui awak kapal itu!” ajak Adioa.

Kelima pemuda bersahabat tersebut bersama para penduduk kampung beramai-ramai menuju ke dermaga untuk mendengarkan jawaban teka-teki yang akan disampaikan oleh Adioa. Setibanya di dermaga, para awak kapal itu pun turun dari kapal menyambut kedatangan Adioa dan rombongannya.

        “Bagaimana, Anak Muda? Apakah kamu sudah menemukan jawabannya?” tanya seorang awak kapal.
        “Sudah, Tuan!” jawab Adioa sambil bersiap-siap.

Para penduduk yang hadir di tempat itu tampak tegang. Hati mereka diselimuti perasaan cemas dan khawatir. Jika Adioa tidak mampu menjawab teka-teki tersebut, maka kampung mereka akan dikuasai oleh raja dari negeri seberang itu. Demikian pula para awak ketiga kapal tersebut, mereka khawatir jika Adioa berhasil menjawab teka-teki tersebut, maka seluruh isi kapal mereka akan menjadi milik Adioa dan penduduk kampung itu.


Sesaat kemudian, awak kapal pun mempersilahkan Adioa untuk menjawab teka-teka tersebut.

    “Silahkan, Anak Muda! Jawablah teka-teki itu!” seru awak kapal itu.

Dengan tenang, Ratu Adioa menjawab ketiga teka-teki tersebut sesuai dengan petunjuk ayahnya. Ketika ia berhasil menjawab teka-teki yang pertama, terdengarlah suara tepuk tangan yang ramai dari keempat sahabatnya dan para penduduk setempat. Begitu pula ketika ia berhasil menjawab teka-teki yang kedua. Begitu ia berhasil menjawab teka-teki yang  ketiga, seluruh penduduk bersorak gembira dengan penuh kegirangan. Sementara para awak kapal hanya tercengang bercampur rasa kagum kepada Adioa, karena tak satu pun jawabannya yang meleset.

        “Hai, Anak Muda! Kami sangat kagum kepadamu. Kamu memang pemuda yang hebat. Sesuai dengan janji kami, maka seluruh isi kapal itu menjadi milikmu dan penduduk di sini,” kata awak kapal itu seru
        “Terima kasih, Tuan!” ucap Adioa sambil menyalami awak kapal itu.

Setelah seluruh isi ketiga kapal tersebut diturunkan, para awak kapal itu pun berpamitan untuk kembali ke negeri mereka. Begitu mereka pergi, para penduduk berpesta menyambut kemenangan mereka dan kemudian mengangkat Ratu Adioa Menjadi Raja.


Keesokan harinya, Raja Ratu Adioa pun menjemput kedua orang tuanya yang sedang bersembunyi di dalam gua. Setelah itu, ia menceritakan kepada keempat sahabat dan seluruh rakyatnya bahwa keberhasilannya menjawab teka-teki tersebut adalah berkat bantuan kedua orang tuanya. Mendengar cerita itu, keempat sahabatnya pun merasa sangat menyesal karena telah membunuh orang tua mereka. Kini, mereka tidak dapat menikmati kebahagiaan hidup bersama kedua orang tuanya, seperti yang dialami oleh Ratu Adioa.


*****


Demikianlah KISAH RATU ADIOA dari daerah Sulawesi Utara, Indonesia. Dongeng di atas memberi pelajaran kepada kita bahwa salah satu cara atau jalan untuk mencapai keberhasilan adalah menghormati orang tua. Mereka merupakan salah satu tempat kita untuk meminta nasehat dan petunjuk dikala kita sedang mengalami kesulitan, karena mereka memiliki banyak pengalaman hidup. Oleh karena itu, jika ingin mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan serta terhindar dari kesulitan, seperti Ratu Adioa dalam cerita di atas, maka sebaiknya kedua orang tua senantiasa harus dihormati.

CERITA RAKYAT KEKEKOW DENGAN GADIS MISKIN

CERITA MINAHASA KEKEKOW DENGAN GADIS MISKIN
CERITA MINAHASA KEKEKOW DENGAN GADIS MISKIN

Alkisah, di daerah Minahasa, Sulawesi Utara, hidup seorang janda tua yang miskin bersama dua orang anak gadisnya. Mereka tinggal di sebuah gubuk di bawah sebuah pohon yang rindang dan teduh. Cara hidup mereka cukup unik, yakni hidup seperti seekor ayam. Mereka baru mencari makan pada saat waktu makan tiba. Jika ingin makan pagi, mereka baru mencarinya pada pagi hari, dan jika ingin makan siang, mereka pun baru mencarinya pada waktu siang hari. Demikian seterusnya. Mereka melakukan hal itu karena hutan di sekeliling mereka menyediakan berbagai jenis buah-buahan dan hasil-hasil hutan lainnya. Di hutan sekitar tempat tinggal mereka ada seekor Burung Kekekow yang sangat baik kepada kedua anak perempuan tersebut.

Pada suatu ketika, musim buah-buahan di daerah mereka telah lewat semua. Tak satu jenis pun pohon yang berbuah. Janda tua dan kedua anak gadis itu kesulitan mencari makan. Mereka sudah menjelajahi hutan kesana-kemari namun tidak juga menemukan adanya pohon yang berbuah. 

Suatu siang, sepulang dari hutan, kedua anak gadis itu beristirahat di bawah sebuah pohon mangga tidak jauh dari gubuk mereka. Mereka duduk bersandar di pohon sambil memegang perut karena menahan rasa perih dan lapar.
  • “Kak, perutku terasa perih sekali. Ke mana lagi kita harus mencari makan”“ keluh si Bungsu.
  • “Entahlah, Dik! Perutku juga terasa lapar sekali. Kita sudah mencari ke sana kemari, tapi tidak ada lagi yang dapat kita makan,” sahut si Sulung.
Baru saja berkata demikian, tiba-tiba kedua gadis itu dikejutkan dengan sebuah benda berwarna kuning jatuh di dekat mereka. Setelah mereka lihat ternyata benda itu adalah sesisir pisang emas yang sudah masak.
  • “Hei, kenapa ada buah pisang jatuh dari atas pohon mangga”“ tanya si Sulung heran.
  • “Aku juga tidak tahu, Kak. Jangan-jangan ada orang yang menjatuhkannya dari atas pohon,” ucap si Bungsu.
Namun, setelah menoleh ke atas pohon itu, mereka tidak melihat ada siapa-siapa. Mereka hanya mendengar ada suara Burung Kekekow  sedang bernyanyi dengan suara yang merdu.
“Keke...kow..., keke kow..., keke kow...!! ”
Rupanya Burung Kekekow  itu mengerti kalau kedua gadis miskin tersebut belum mendapatkan makanan untuk makan siang. Ia pun memberikan lagi kepada mereka berbagai macam buah-buahan, seperti pepaya, jambu air, dan mangga. Namun demikian, Burung Kekekow  tidak mau memperlihatkan dirinya kepada kedua gadis itu. Maka, usai memberikan buah-buahan tersebut, ia pun segera terbang meninggalkan pohon itu.


Sementara itu, kedua anak gadis tersebut masih berdiri bengong di bawah pohon sambil memerhatikan berbagai macam makanan tersebut. Mereka seakan-akan tidak percaya terhadap apa yang baru mereka saksikan. Meskipun merasa sangat lapar, mereka tidak langsung memakan buah-buahan tersebut, melainkan berlari ke gubuk untuk melaporkan kejadian itu kepada ibu mereka.
“Apa yang terjadi, Anakku” Kenapa kalian berlari tergopoh-gopoh begitu”“ tanya ibunya.
Dengan perasaan bimbang bercampur gembira, kedua gadis itu menceritakan semua peristiwa yang baru saja mereka alami. Mendengar cerita kedua anaknya itu, sang Ibu pun merasa heran bercampur gembira.
“Ayolah, Bu! Kita ke sana melihat buah-buahan itu!” ajak si Sulung sambil menarik tangan ibunya.
Sang ibu pun segera memenuhi ajakan anaknya. Sesampainya di bawah pohon mangga itu, tampaklah oleh ibunya berbagai macam buah-buahan.
“Waaahhh, ajaib sekali!” ucap sang Ibu dengan perasaan takjub.
Akhirnya, mereka pun membawa seluruh buah-buahan tersebut ke gubuk mereka. Oleh karena perasaan lapar sudah tidak tertahankan, mereka segera melahap buah-buahan tersebut. Alangkah senang hati ibu dan dua anak gadis itu.

Keesokan harinya, saat hari menjelang siang, kedua gadis itu kembali duduk di bawah pohon mangga itu. Baru saja mereka menyandarkan tubuh di batang pohon mangga, tiba-tiba terdengar lagi suara burung bernyanyi.
“Keke...kow..., keke kow..., keke kow...!!”
Namun, ketika akan beranjak dari tempat duduknya hendak mencari sumber suara itu, tiba-tiba kedua gadis tersebut mendengar suara burung itu memanggil mereka.
“Hai, kalian gadis miskin! Mendekatlah kemari! Aku akan memberikan kalian makanan,” ujar Burung Kekekow.
Kedua gadis itu pun segera mendekat ke bawah dahan pohon tempat Burung Kekekow  bertengger. Seketika itu pula berjatuhanlah berbagai macam makanan dari atas pohon.
“Terima kasih, Burung Kekekow !” ucap kedua gadis itu serentak dengan perasaan gembira.
Demikian seterusnya, setiap kedua gadis itu kehabisan makanan, Burung Kekekow  yang baik hati itu memberikan mereka makanan. Bahkan, pada hari-hari berikutnya, Burung Kekekow  memberikan mereka peralatan rumah tangga yang mereka perlukan. Ketika musim kemarau pun, ia selalu memberikan mereka air untuk keperluan sehari-hari. Berkat pertolongan Burung Kekekow , keluarga kedua gadis itu tidak sengsara lagi seperti sebelumnya.

Pada suatu hari, peristiwa yang mereka alami tersebut terdengar oleh teman-teman sepermainan mereka yang tinggal di kampung tidak jauh dari hutan itu. Oleh karena perasaan iri hati dan dengki, teman-teman kedua gadis itu menyampaikan berita itu kepada kepala kampung. Lalu, kepala kampung itu mengerahkan seluruh warga untuk segera menangkap Burung Kekekow . Alhasil, mereka pun berhasil menangkap dan membawanya ke rumah kepala kampung. Warga kampung pun berebutan meminta berbagai makanan dan peralatan rumah tangga kepada burung ajaib itu. Ada yang meminta buah pisang, mangga, pepaya dan lain-lain. Bahkan ada pula yang meminta peralatan rumah tangga seperti lemari, kursi, meja dan sebagainya. Namun, tak satu pun permintaan mereka yang dikabulkan oleh Burung Kekekow . Justru Burung Kekekow  itu memberikan mereka rumput-rumput kering.
Sikap dan perlakuan Burung Kekekow  itu membuat kepala kampung dan para warga naik pitam.
  • “Dasar burung penipu! Kamu menghina kami, yah!” bentak kepala kampung.
  • “Sembelih saja burung brengsek itu!” teriak seorang warga.
  • “Ayo, kita sembelih burung itu!” sahut seluruh warga dengan perasaan kesal dan kecewa.
Akhirnya, kepala kampung dan para warga bersepakat untuk menyembelih Burung Kekekow . Setelah disembelih, bangkai burung itu dibuang di belakang rumah salah seorang penduduk.

Mengetahui burung kesayangannya disembelih, kedua gadis itu segera mengambil bangkainya dan menguburkannya di belakang gubuk mereka. Mereka sangat bersedih hati dan menyesali kekejaman para penduduk kampung yang telah menyembelih burung yang senantiasa menolong mereka. Untuk mengenang jasa-jasa dan kebaikan Burung Kekekow , mereka selalu datang ke kuburan Burung Kekekow  untuk mendoakannya.

Beberapa tahun setelah peristiwa tersebut, kedua anak gadis itu tumbuh menjadi gadis dewasa yang cantik. Kehidupan mereka pun tidak lagi sengsara seperti dulu, karena semua pemberian Burung Kekekow  mereka simpan dan rawat dengan baik. Jika kekurangan makanan, peralatan rumah tangga mereka jual untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Sementara itu, di atas kuburan Burung Kekekow  telah tumbuh sebuah pohon besar yang tidak pernah berhenti berbuah. Buahnya sangat enak dan memiliki aroma yang menyenangkan. Jika lapar, kedua gadis itu dan ibunya memetik buah pohon tersebut. Sejak saat itu, mereka pun senantiasa hidup serba berkecukupan.


Demikianlah KISAH KEKEKOW DENGAN GADIS MISKIN dari daerah Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia. Kisah ini termasuk kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik adalah akibat buruk sifat iri hati dan dengki. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku kepala kampung dan para warga terhadap kedua gadis itu. Akibat keirihatian dan kedengkian mereka, Burung Kekekow  pun tidak bersedia memenuhi semua permintaan mereka. 
Pelajaran lain yang dapat dipetik adalah bahwa sifat iri hati dan dengki dapat menyebabkan seseorang berbuat jahat terhadap orang lain ataupun terhadap makhluk lain. Hal ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku para warga yang tega menyembelih Burung Kekekow  yang baik hati itu.


Asal Usul Raja-Raja Tunjung Kutai Suku

Asal Usul Raja-Raja Tunjung Kutai Suku
Asal Usul Raja-Raja Tunjung Kutai Suku

Di daerah Kalimantan Timur, ada dua orang bersaudara yang bernama Gah Bogan dan Suman. Gah Bogan tinggal di Negeri Linggang yang terletak tidak jauh dari Sungai Bengkalang. Sementara itu, Suma menetap di Negeri Londong, sebelah kanan mudik Sungai Mahakam.

Suatu hari, istri Gah Bogan yang bernama Gah Bongek melahirkan anak kembar delapan. Barangkali karena alasan tidak sanggup menghidupi kedelapan anak tersebut sehingga pasangan suami istri itu memutuskan untuk membuang anak-anak mereka ke Sungai Mahakam.

Beberapa tahun kemudian, Gah Bongek kembali melahirkan anak kembar delapan. Keduanya pun bersepakat membuang kedelapan anak mereka ke tengah hutan. Ketika istri Gah Bogan kembali melahirkan yang ketiga kalinya dan mendapatkan anak kembar delapan lagi, akhirnya mereka pun memutuskan untuk merawat dan membesarkan kedelapan anak tersebut. Kedelapan anak itu mereka beri nama Sangkariak Igas, Sangkariak Laca, Sangkariak Lani, Sangkariak Inggih, Sangkariak Injung, Sangkariak Kebon, Sangkariak Lanan, dan yang paling bungsu adalah Sangkariak Daka.

Waktu terus berjalan. Kedelapan bersaudara itu tumbuh dewasa dan mereka mendirikan permukiman di pinggiran Sungai Bengkalang. Sehari-hari mereka mencari ikan di sungai untuk memenuhi kebutuhan mereka. Suatu hari, saat mereka sedang makan bersama, tiba-tiba terdengar suara gaib dari langit.

“Jo jo sambut disambut mati, tidak sambut mati,” demikian kata suara itu.

“Ulur mati habis, tidak terulur mati lumus,” sahut Sangkariak Kebon menjawab suara itu.

Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba sebuah kelengkang (sejenis keranjang) yang teulur dengan tali seolah-olah turun dari langit. Ternyata kelengkang itu berisi seorang bayi laki-laki tampan yang menggenggam sebutir telur di tangan kanannya. Alangkah senangnya hati mereka mendapat hadiah tersebut dari Ape Bongan Tana (Tuhan Yang Mahakuasa).

Oleh Sangkariak Igas, bayi itu diberi nama Aji Julur Dijangkat. Telur yang ada digenggaman bayi itu mereka simpan dengan baik. Beberapa hari kemudian, telur itu pun menetas menjadi seekor ayam jantan dan diberi nama Jong Perak Kemudi Besi. Dengan penuh kasih sayang, kedelapan bersaudara tersebut merawat dan membesarkan bayi dan ayam jantan itu hingga dewasa.

Sementara itu, istri Suma juga melahirkan delapan orang anak, enam laki-laki dan dua perempuan. Mereka adalah Kemunduk Bengkong, Kemunduk Kandangan, Kemunduk Murung, Kemunduk Jumai, Kemunduk Jangkak, Kemunduk Mandar, Kemunduk Bulan, dan Kemunduk Beran. Kini, kedelapan putra-putri Suma tersebut juga sudah beranjak dewasa. Sehari-hari mereka mencari kayu bakar di hutan dan menangkap ikan di Sungai Mahakam.

Suatu hari, kedelapan bersaudara itu baru saja pulang dari hutan mencari kayu bakar. Hari itu, mereka tidak hanya membawa kayu bakar, tetapi juga bambu petung untuk digunakan sebagai lantai rumah. Ketika mereka sedang asyik melepas lelah di depan rumah, tiba-tiba terdengar suara letusan keras disusul suara tangis seorang bayi beberapa saat setelahnya. Kedelapan bersaudara itu pun langsung terperanjat dari tempatnya.

“Hai, suara apa itu?” tanya Kemunduk Kandangan.

“Sepertinya suara letusan itu berasal dari tumpukan kayu bakar yang kita bawa tadi,” sahut Kemunduk Mandar.

“Kalau begitu, ayo kita periksa!” seru Kemunduk Bengkong.

Setelah memeriksa sumber suara letusan tersebut, ternyata bambu petung yang dibawa oleh Kemunduk Bengkong tadi meledak dan mengeluarkan seorang bayi perempuan yang mungil dan cantik rupawan. Bayi itu tergeletak di atas puing-puing bambu petung yang meledak tadi.

“Hai, lihat!” seru Kemunduk Jangkak, “Di tangan bayi itu tergenggam sebutir telur ayam.”

Kemunduk Bengkong pun segera mengambil telur ayam itu lalu menggendong sang bayi. Oleh kedelapan bersaudara tersebut, bayi itu diberi nama Muk Bandar Bulan yang artinya “putri menerangi negeri”. Sementara itu, telur ayam itu mereka letakkan di tempat yang aman. Tak berapa lama kemudian, telur itu menetas menjadi seekor anak ayam betina. Sama halnya kedelapan anak Goh Bogan, Kemunduk Bengkong berserta saudara-saudaranya merawat dan membesarkan bayi dan anak ayam tersebut hingga dewasa.

Putri Muk Bundar Bulan tumbuh menjadi seorang gadis yang cerdas dan bijaksana. Tak mengherankan jika ia diangkat menjadi ratu di sebuah negeri yang bernama Tanah Tunjung. Sejak itu, Ratu Negeri Tunjung itu kerap melakukan kunjungan ke negeri-negeri tetangga, termasuk Negeri Linggang.

Suatu hari, Ratu Muk Bundar Bulan mendengar kabar bahwa di Negeri Linggang ada seekor ayam jantan yang berbulu putih, berjambul, dan berjambing. Ayam jantan itu tak lain adalah si Jong Perak Kemudi Besi milik Aji Julur Dijangkat. Sang ratu sangat tertarik ingin membeli ayam jantan itu untuk dijadikan sebagai pasangan ayam betinanya. Ia pun mengajak Kemunduk Bengkong bersaudara untuk mengunjungi negeri itu.

Keesokan hari, Ratu Muk Bundar Bulan beserta rombongannya berangkat menuju ke Negeri Linggang dengan menggunakan sepuluh perahu. Rupanya, pada saat yang bersamaan, Aji Julur Dijangkat beserta Sangkariak Igas bersaudara juga sedang melakukan perjalanan menuju ke Negeri Londong dengan membawa sepuluh perahu. Akhirnya, kedua rombongan tersebut bertemu di ujung Rantai Genoli dan mereka pun bersepakat untuk berhenti di Negeri Rantau Batu Gonali.

Saat kedua rombongan saling berhadapan, kedua ayam yang ada pada masing-masing rombongan itu saling menyahut. Hal itu pertanda bahwa kedua ayam tersebut saling menyukai. Tidak hanya itu, kedua pemilik ayam tersebut, yaitu Aji Julur Dijangkat dan Muk Bandar Bulan ternyata juga saling jatuh hati.

“Kakanda bernama Sanghiyang Geragas Pati, anak Raja Sanghiyang Nata Dewi Kencana Peri dari Negeri Bukit Karangan Sari,” kata Muk Bandar Bulan kepada Aji Julur Dijangkat.

“Nama Adinda pastilah Putri Ringsa Bunga, anak Sanghiyang Naga Salik dengan Bunda Dewi Randayan Bunga dari Negeri Gunung Asmara Cinta,” sahut Aji Julur Dijangkat.

Rupanya, pemuda tampan dan gadis cantik jelita yang berasal dari Negeri Kahyangan itu ternyata sudah saling mengenal satu sama lain. Oleh karena merasa cocok dan sudah saling mengenal asal-usul masing-masing, akhirnya Aji Julur Dijingkat dan Muk Bandar Bulan menikah dan setelah itu mereka menetap di Negeri Rantau Batu Gonali. Seluruh penduduk Negeri Linggang dan Negeri Londong pun pindah dan ikut menetap di negeri itu.

Aji Julur Dijangkat dan Muk Bandar kemudian membuat rumah panjang yang terbuat dari kayubenggeris. Rumah panjang itu diberi nama Lamin. Hingga kini, rumah ini menjadi rumah tradisional khas Suku Dayak Tunjung di Kalimantan Timur. Sebagai bukti bahwa mereka berasal dari Kahyangan, masing-masing membawa dua biji pinang sendawar. Dua buah biji pinang milik Aji Julur Dijangkat mereka simpan untuk dimakan bersama, sedangkan dua buah biji pinang milik Muk Bandar Bulan mereka tanam di halaman rumah. Sejak itulah, negeri Rantau Batu Gonali berganti nama menjadi negeri Pinang Sendawar.

Setelah beberapa tahun kemudian, Aji Julur Dijangkat dan Muk Bandar Bulan dikaruniai empat orang anak laki-laki. Mereka adalah Sualis Guna, Nara Gama, Jeliban Bona, dan Puncan Karna. Dalam asuhan kedua orang tua dengan penuh kasih sayang, mereka pun tumbuh dewasa. Suatu hari, sang ayah memanggil mereka untuk menghadap.

“Dengarkanlah, wahai putra-putraku! Kini ayah sudah tua. Sudah saatnya Ayah menunjuk salah satu di antara kalian untuk menggantikan kedudukan Ayah sebagai pemimpin negeri ini,” ungkap Aji Julur Dijingkat di hadapan putra-putranya dan disaksikan oleh sang istri.

Kemududuk Bengkong dan adik-adiknya saling menatap satu sama lain. Masing-masing berharap dirinyalah yang akan ditunjuk oleh sang ayah. Namun, Aji Julur Dijangkat adalah raja yang adil dan bijaksana.

“Ayah tidak akan menunjuk langsung salah seorang di antara kalian. Ayah pikir bahwa akan lebih adil jika diadakan lomba menyeberangi sungai sambil membawa gong sebanyak tujuh kali pulang pergi. Siapa pun di antara kalian yang memenangi lomba tersebut maka dialah yang berhak menggantikan Ayah,” ujar sang ayah, “Apakah kalian setuju dengan cara ini?”

Sualas Guna dan adik-adiknya pun setuju. Pada hari yang telah ditentukan, perlombaan menyeberangi sungai antara keempat bersaudara tersebut siap dimulai. Seluruh rakyat pun berondong-bondong untuk menyaksikan perlombaan tersebut. Setelah gong berbunyi pertanda lomba telah dimulai, para peserta lomba pun mulai mengeluarkan kemampuan masing-masing. Sualas Guna yang mendapat giliran pertama ternyata gagal pada saat memasuki putaran keenam. Demikian pula, Nara Gama dan Jeliban Bona yang mendapat giliran kedua dan ketiga juga gagal yaitu masing-masing pada putaran keempat dan kelima.

Sebagai peserta terakhir, Puncan Karna yang telah mempelajari kesalahan-kesalahan kakak-kakaknya dan ditambah dengan kekuatannya yang luar biasa akhirnya dapat memenangkan lomba itu. Meskipun dinyatakan sebagai pemenang, putra bungsu Aji Julur Dijangkat itu tidak jadi diangkat menjadi Raja Pinang Sendawar karena ia harus pergi ke Kutai Kartanegara atas kehendak Dewata melalui mimpi sang ayah,

Pada malam sebelum meninggalkan tanah kelahirannya, Puncan Karna mendapat pesan dari Sanghyang Naga Salik atau neneknya melalui mimpi bahwa Raja Negeri Kutai yang bernama Maharaja Sultan mempunyai enam orang anak. Dua di antaranya adalah putri yaitu Aji Dewa Putri dan Aji Ratu Putri. Menurut sang nenek, Aji Ratu Putri itulah yang akan menjadi jodohnya.

Keesokan hari, berangkatlah Puncan Karna ke Negeri Kutai disertai oleh beberapa orang pengawal. Setiba di istana Kutai, pemuda tampan dan perkasa itu langsung menikahi Aji Ratu Putri dan mereka pun hidup berbahagia. Selang beberapa tahun kemudian, pasang suami istri itu dikaruniai beberapa putra yang secara turun-temurun menjadi Raja-raja Tunjung.

* * *

Demikian cerita Asal Usul Raja-Raja Tunjung dari Kalimantan Timur. 

Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah pentingnya keutamaan sifat adil sebagaimana yang dimiliki oleh Aji Julur Dijangkat. Untuk menunjuk salah satu putranya yang akan menggantikan dirinya sebagai raja, ia mengadakan lomba menyeberangi sungai dan pemenangnyalah yang berhak atas kedudukan tersebut. Dengan demikian, maka tidak akan ada kecemburuan di antara putra-putranya.

Cerita Rakyat Legenda Rawa Pening

Cerita Rakyat  Legenda Rawa Pening
Cerita Rakyat  Legenda Rawa Pening

Dahulu, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka belum mempunyai anak. Meskipun demikian, Ki Hajar dan istrinya selalu hidup rukun. Setiap menghadapi permasalahan, mereka selalu menyelesaikannya melalui musyawarah.

Suatu hari, Nyai Selakanta duduk termenung seorang diri di depan rumahnya. Tak lama kemudian, Ki Hajar datang menghampiri dan duduk di sampingnya.

“Istriku, kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Hajar.

Nyai Selakanta masih saja terdiam. Ia rupanya masih tenggelam dalam lamunannya sehingga tidak menyadari keberadaan sang suami di sampingnya. Ia baru tersadar setelah Ki Hajar memegang pundaknya.

“Eh, Kanda,” ucapnya dengan terkejut.

“Istriku, apa yang sedang kamu pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya.

“Tidak memikirkan apa-apa, Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika Kanda sedang pergi. Sekiranya di rumah ini selalu terdengar suara tangis dan rengekan seorang bayi, tentu hidup ini tidak sesepi ini,” ungkap Nyai Selakanta, “Sejujurnya Kanda, Dinda ingin sekali mempunyai anak. Dinda ingin merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.”

Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghela nafas panjang.

“Sudahlah, Dinda. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Hajar.

“Iya, Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil meneteskan air mata.

Ki Hajar pun tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu.

“Baiklah, Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, izinkanlah Kanda pergi bertapa untuk memohon kepada Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar.

Nyai Selakanta pun memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk berpisah. Keesokan harinya, berangkatlah Ki Hajar ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang diri dengan hati semakin sepi.

Berminggu-minggu, bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selakanta menunggu, namun sang suami belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan cemas kalau-kalau terjadi sesuatu pada suaminya.

Suatu hari, Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia pun berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba saatnya, ia pun melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang dilahirkan bukanlah seorang manusia, melainkan seekor naga.

Ia menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini diambil dari nama tombak milik suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata “Klinthing” berarti lonceng.

Ajaibnya, meskipun berwujud naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta pun terheran-heran bercampur haru melihat keajaiban itu. Namun di sisi lain, ia juga sedikit merasa kecewa. Sebab, betapa malunya ia jika warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor naga. Untuk menutupi hal tersebut, ia pun berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. Tapi sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga besar agar dapat menempuh perjalanan menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selakanta merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan warga.

Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari, anak itu bertanya kepada ibunya.

“Bu, apakah aku mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos.

Nyai Selakanta tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu keluar dari mulut anaknya. Namun, hal itu telah menyadarkan dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing mengetahui siapa ayahnya.

“Iya, anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Tapi, ayahmu saat ini sedang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. Pergilah temui dia dan katakan padanya bahwa engkau adalah putranya,” kata Nyai Selakanta.

“Tapi, Bu. Apakah ayah mau mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru Klinthing dengan ragu.

“Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai bukti,” ujar Nyai Selakanta, “Pusaka itu milik ayahmu.”

Setelah memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju lereng Gunung Telomoyo. Setiba di sana, masuklah ia ke dalam gua dan mendapati seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting rupanya mengusik ketenangan pertapa itu.

“Hai, siapa itu?” tanya pertapa.

“Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting.

Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara.

“Siapa kamu dan kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan heran.

“Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar?”

“Iya, aku Ki Hajar. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa itu penasaran.

Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan ayahnya. Ia kemudian menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya memiliki anak berujud seekor naga. Ketika naga itu menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Hajar pun mulai percaya. Namun, ia belum yakin sepenuhnya.

“Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki Hajar.

Baru Klinthing segera melaksanakan perintah tersebut untuk meyakinkan sang ayah. Berbekal kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil melingkari Gunung Telomoyo. Akhirnya, Ki Hajar pun mengakui bahwa naga itu adalah anaknya. Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur.

“Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” ujar Ki Hajar, “Suatu saat kelak, tubuhmu akan berubah menjadi manusia.”

“Baik,” jawab Baru Klinthing.

Sementara itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun sayang penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan merti dusun (bersih desa), yaitu pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk memeriahkan pesta, akan digelar berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat pun akan disajikan sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur.

Sudah hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang tertangkap. Ketika hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain adalah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai menangkap dan memotong-motong daging naga itu lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan hidangan dalam pesta.

Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau amis. Rupanya, anak laki-laki itu adalah penjelmaan Baru Klinthing. Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memaki-maki, bahkan mengusirnya.

“Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.”

Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia pun berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi Latung.

“Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung.

“Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku,” jawab Baru Klinthing, “Padahal, saya lapar sekali.”

Nyi Latung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera menghidangkan makanan lezat.

“Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang baik hati di desa ini.”

“Iya, cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat angkuh. Mereka pun tidak mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Latung.

“Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing. “Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu (lumpang: alat menumbuk padi)!”

Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Setiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah.

“Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing.

Merasa diremehkan, warga pun beramai-ramai hendak mencabut lidi itu. Mula-mula, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja gagal. Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu persatu. Namun, tak seorang pun dari mereka yang mampu mencabut lidi tersebut.

“Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing.

Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu mencabut lidi itu dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka. Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa atau danau, yang kini dikenal dengan Rawa Pening.

Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah peristiwa itu, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening.

* * *

Demikian cerita Legenda Rawa Pening dari Jawa Tengah.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah sifat angkuh, sombong, dan tidak menghargai orang lain adalah sifat tidak terpuji. Saling membantu dan saling tolong menolong merupakan perbuatan baik yang patut untuk dicontoh, tanpa memandang latar belakang status sosial, agama, asal, dan kondisi fisik orang yang ditolong.